1. Kecerdasan Intelektual (IQ)
Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi
adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis
besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental
yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu,
inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus
disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari
proses berpikir rasional itu. sedangkan IQ atau singkatan dari Intelligence Quotient,
adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan
demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan
seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara
keseluruhan.
Intelligence Quotient atau
yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan
kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet,
ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis
Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang
dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga
selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada
masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari
setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif
dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Inti
kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar
biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5
% dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini
mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan
di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan
masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya
organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas
memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk
orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum
memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient)
memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut
penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan
sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis
keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping
faktor gizi makanan yang cukup.
IQ
atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa,
kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan
kecelakaan. IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami
berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan
belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan
fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional. Awal untuk
melihat IQ seorang anak adalah pada saat ia mulai berkata-kata. Ada
hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya.
Apabila seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan
bahasanya akan cepat dan banyak.
Rumus kecerdasan umum, atau IQ yang ditetapkan oleh para ilmuwan adalah :
Usia Mental Anak
|
x 100 = IQ
|
Usia Sesungguhnya
|
Contoh : Misalnya
anak pada usia 3 tahun telah punya kecerdasan anak-anak yang rata-rata
baru bisa berbicara seperti itu pada usia 4 tahun. Inilah yang disebut
dengan Usia Mental. Berarti IQ si anak adalah 4/3 x 100 = 133.
Interpretasi atau penafsiran dari IQ adalah sebagai berikut :
TINGKAT KECERDASAN
|
IQ
|
Genius
|
Di atas 140
|
Sangat Super
|
120 - 140
|
Super
|
110 - 120
|
Normal
|
90 -110
|
Bodoh
|
80 - 90
|
Perbatasan
|
70 - 80
|
Moron / Dungu
|
50 - 70
|
Imbecile
|
25-50
|
Idiot
|
0 - 25
|
2. Kecerdasan Emosional (EQ)
EQ adalah istilah baru yang dipopulerkan oleh Daniel Golleman.
Berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan psikolog, Goleman (1995)
berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu
pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh
kemampuan intelektual atau “Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh emosi.
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence
(1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang
hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun
faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis itu
ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ
mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya
menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian
dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi
sesuatu yang positif dan bermanfaat.
Kecerdasan
emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi
dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang
mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya
berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan
antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara
fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Otak berfikir
harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian
membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri
yang memiliki kecerdasan intelektual.
Beberapa pengertian EQ yang lain, yaitu :
Kecerdasan
emosional merupakan kemampuan individu untuk mengenal emosi diri
sendiri, emosi orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola dengan
baik emosi pada diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain
(Golleman, 1999). Emosi adalah perasaan yang dialami individu sebagai
reaksi terhadap rangsang yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari
orang lain. Emosi tersebut beragam, namun dapat dikelompokkan kedalam
kategori emosi seperti; marah, takut, sedih, gembira, kasih sayang dan
takjub (Santrock, 1994).
Ø Kemampuan
mengenal emosi diri adalah kemampuan menyadari perasaan sendiri pada
saat perasaan itu muncul dari saat-kesaat sehingga mampu memahami
dirinya, dan mengendalikan dirinya, dan mampu membuat keputusan yang
bijaksana sehingga tidak ‘diperbudak’ oleh emosinya.
Ø Kemampuan
mengelola emosi adalah kemampuan menyelaraskan perasaan (emosi) dengan
lingkungannnya sehingga dapat memelihara harmoni kehidupan individunya
dengan lingkungannya/orang lain.
Ø Kemampuan
mengenal emosi orang lain yaitu kemampuan memahami emosi orang lain
(empaty) serta mampu mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang
lain yang dimaksud.
Ø Kemampuan
memotivasi diri merupakan kemampuan mendorong dan mengarahkan segala
daya upaya dirinya bagi pencapaian tujuan, keinginan dan cita-citanya.
Peran memotivasi diri yang terdiri atas antusiasme dan keyakinan pada
diri seseorang akan sangat produktif dan efektif dalam segala
aktifitasnya
Ø Kemampuan
mengembangkan hubungan adalah kemampuan mengelola emosi orang lain atau
emosi diri yang timbul akibat rangsang dari luar dirinya. Kemampuan ini
akan membantu individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain secara
memuaskan dan mampu berfikir secara rasional (IQ) serta mampu keluar
dari tekanan (stress).
Manusia
dengan EQ yang baik, mampu menyelesaikan dan bertanggung jawab penuh
pada pekerjaan, mudah bersosialisasi, mampu membuat keputusan yang
manusiawi, dan berpegang pada komitmen. Makanya, orang yang EQ-nya bagus
mampu mengerjakan segala sesuatunya dengan lebih baik.
Kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi
koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah
kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik
EQ yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat panca indra
semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni
suara hati. Malahan sumber infomasi yang disebut terakhir akan menyaring
dan memilah informasi yang didapat dari panca indra.
Substansi
dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk
kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat
memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang
tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman
tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik,
sekaligus kehidupan sosialnya juga baik. Tidak lain karena orang
tersebut dapat merespon tuntutan lingkungannya dengan tepat .
Di
samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas
kejujuran komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental kebijaksanaan
dan penguasaan diri. Oleh karena itu EQ mengajarkan bagaimana manusia
bersikap terhadap dirinya (intra personal) seperti self awamess (percaya diri), self motivation (memotivasi diri), self regulation (mengatur diri), dan terhadap orang lain (interpersonal) seperti empathy,
kemampuan memahami orang lain dan social skill yang memungkinkan setiap
orang dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik .
Kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat
menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan. Mantan Presiden
Soeharto dan Akbar Tandjung adalah contoh orang yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi, mampu mengendalikan emosinya dalam
berkomunikasi.
Dalam
bahasa agama , EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-naas".
Pusat dari EQ adalah "qalbu" . Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling
dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani.
Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak. Hati
adalah sumber keberanian dan semangat , integritas dan komitmen. Hati
merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan
untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.
3. Kecerdasan Spiritual (SQ)
Selain IQ, dan EQ, di beberapa tahun terakhir juga berkembang kecerdasan spiritual (SQ = Spritual Quotiens). Tepatnya di tahun 2000, dalam bukunya berjudul ”Spiritual Intelligence : the Ultimate Intellegence, Danah Zohar dan Ian Marshall
mengklaim bahwa SQ adalah inti dari segala intelejensia. Kecerdasan ini
digunakan untuk menyelesaikan masalah kaidah dan nilai-nilai spiritual.
Dengan adanya kecerdasan ini, akan membawa seseorang untuk mencapai
kebahagiaan hakikinya. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan
juga bisa melihat apa potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti
mempunyai kelebihan dan juga ada kekurangannya. Intinya, bagaimana kita
bisa melihat hal itu. Intelejensia spiritual membawa seseorang untuk
dapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang
Maha Pencipta.
Denah
Zohar dan Ian Marshall juga mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai
kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau
jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Spiritual Quotient
(SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan
kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ
saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan
keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi
seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara
proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh
keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ
yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul
(Spiritual).
Selain itu menurut Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence:
2001, IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja
mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient)
menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’
Kecerdasan
spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai
perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam
melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini
bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh
kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling
sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan
jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan
memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan
yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu
membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Mengenalkan
SQ Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti
berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan
jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ
tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai
yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu
sendiri